Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
(UU RI Nomor 39 Tahun 1999). Saat ini pelanggaran HAM di Indonesia
masih sering terjadi. Kasus pelanggaran HAM ini bukan hanya dilakukan secara
individual, tapi seringkali dilakukan oleh kelompok terhadap kelompok lain
ataupun dari sebuah institusi terhadap anggotanya . Dalam UU RI Nomor 39 Tahun
1999 yang dikategorikan pelanggaran HAM yang berat adalah :
a.
pembunuhan masal (genocide);
b.
pembunuhan sewenang – wenang atau diluar putusan
pengadilan;
c.
penyiksaan;
d.
penghilangan orang secara paksa;
e.
perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis.
Disamping pelanggaran HAM yang berat juga dikenal pelanggaran HAM
biasa. Pelanggaran HAM biasa antara lain: pemukulan, penganiayaan, pencemaran
nama baik, menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya, penyiksaan,
menghilangkan nyawa orang lain.
Berikut ini daftar beberapa kasus
pelanggaran HAM di Indonesia:
1. Kasus Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia adalah aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, 8 Desember 1965. Munir pernah menangani kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus pembunuhan Marsinah, kasus Timor-Timur dan masih banyak lagi. Munir meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir meninggal di pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan Arsenikum di makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini sampai sekarang masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto selaku Pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir, karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir.
2. Pembunuhan Aktivis Buruh Wanita, Marsinah
Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika Marsinah bersama dengan teman-teman sesama buruh dari PT. CPS menggelar unjuk rasa, mereka menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya pada tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya ditemukan di sebuah hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Menurut hasil otopsi, diketahui bahwa Marsinah meninggal karena penganiayaan berat.
1. Kasus Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia adalah aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, 8 Desember 1965. Munir pernah menangani kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus pembunuhan Marsinah, kasus Timor-Timur dan masih banyak lagi. Munir meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir meninggal di pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan Arsenikum di makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini sampai sekarang masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto selaku Pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir, karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir.
2. Pembunuhan Aktivis Buruh Wanita, Marsinah
Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika Marsinah bersama dengan teman-teman sesama buruh dari PT. CPS menggelar unjuk rasa, mereka menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya pada tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya ditemukan di sebuah hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Menurut hasil otopsi, diketahui bahwa Marsinah meninggal karena penganiayaan berat.
3. Kasus Trisakti dan Semanggi
Kasus Trisakti dan Semanggi, terkait dengan gerakan reformasi. Arah gerakan
reformasi adalah
untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Gerakan reformasi dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi terjadi berkepanjangan
karena fondasi ekonomi yang lemah dan pengelolaan pemerintahan yang tidak bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menuntut perubahan dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis, mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN. Demonstrasi merupakan senjata
mahasiswa untuk menekan tuntutan perubahan
ketika dialog mengalami jalan buntu atau
tidak efektif. Ketika demonstrasi inilah berbagai hal yang tidak dinginkan dapat terjadi. Karena sebagai
gerakan massa tidak mudah melakukan kontrol. Bentrok fisik dengan aparat kemanan, pengrusakan, penembakan
dengan peluru karet maupun tajam inilah
yang mewarai kasusTrisakti
dan Semanggi. Kasus Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 (empat)
mahasiswa Universitas Trisakti yang terkena peluru tajam.
Kasus Trisakti sudah ada pengadilan militer. Tragedi Semanggi I terjadi 13 November 1998 yang
menewaskan setidaknya 5 (lima) mahasiswa, sedangkan tragedy Semanggi II pada 24 September 1999,
menewaskan 5 (lima) orang.
Dengan jatuhnya korban pada kasusTrisakti, emosi masyarakat meledak. Selama
dua hari berikutnya 13 – 14 Mei terjadilah kerusuhan dengan membumi hanguskan sebagaian Ibu
Kota Jakarta. Kemudian berkembang meluas menjadi penjarahan dan aksi SARA (suku, agama, ras,
dan antar golongan). Akibat kerusuhan tersebut, Komnas HAM mencatat :
1) 40 pusat perbelanjaan terbakar;
2) 2.479 toko hancur;
3) 1.604 toko dijarah;
4) 1.119 mobil hangus dan ringsek;
5) 1.026 rumah penduduk luluh lantak;
6) 383 kantor rusak berat; dan
7) yang lebih mengenaskan 1.188 orang meninggal dunia. Mereka kebanyakan mati
di pusat – pusat perbelanjaan ketika sedang membalas dendam atas kemiskinan yang selama ini
menindih (GATRA, 9 Januari 1999). Dengan korban yang sangat besar dan mengenaskan di atas, itulah harga
yang harus dibayar bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih dapat dihindari apabila semua anak bangsa ini berpegang teguh
pada nilai – nilai luhur Pancasila sebagai acuan dalam memecahkan berbagai persoalan dan mengelola
Negara tercinta ini. Peristiwa Mei tahun 1998 dicatat di satu sisi sebagai Tahun Reformasi dan pada sisi
lain sebagai Tragedi Nasional.
4. Penculikan Aktivis 1997/1998
Salah satu kasus pelanggaran HAM di
Indonesia yaitu kasus penculikan aktivis 1997/1998. Kasus penculikan dan
penghilangan secara paksa para aktivis pro-demokrasi, sekitar 23 aktivis
pro-demokrasi diculik. Peristiwa ini terjadi menjelang pelaksanaan PEMILU 1997
dan Sidang Umum MPR 1998. Kebanyakan aktivis yang diculik disiksa dan
menghilang, meskipun ada satu yang terbunuh. 9 aktivis dilepaskan dan 13
aktivis lainnya masih belum diketahui keberadaannya sampai kini. Banyak orang
berpendapat bahwa mereka diculik dan disiksa oleh para anggota militer/TNI.
Kasus ini pernah ditangani oleh komisi HAM.
5. Pembantaian Santa
Cruz/Insiden Dili
Kasus ini masuk dalam catatan kasus
pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian yang dilakukan oleh militer
atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Dili,
Timor-Timur pada tanggal 12 November 1991. Kebanyakan warga sipil yang sedang
menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman Santa Cruz ditembak oleh anggota
militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakkan mahasiswa dan warga
sipil mengalami luka-luka dan bahkan ada yang meninggal. Banyak orang menilai
bahwa kasus ini murni pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI dengan
melakukan agresi ke Dili, dan merupakan aksi untuk menyatakan Timor-Timur ingin
keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara
sendiri.
6. Pembantaiaan
Rawagede
Peristiwa ini merupakan pelanggaran
HAM berupa penembakan beserta pembunuhan terhadap penduduk kampung Rawagede
(sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat) oleh tentara
Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya Agresi Militer
Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan
dibunuh tanpa alasan yang jelas. Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag
menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab.
Pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi kepada para keluarga korban
pembantaian Rawagede.
7. Pembantaian Massal
Komunis 1965
Pembantaian ini merupakan peristiwa
pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang dituduh sebagai anggota komunis
di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah
satu partai komunis terbesar di dunia dengan anggotanya yang berjumblah jutaan.
Pihak militer mulai melakukan operasi dengan menangkap anggota komunis,
menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian banyak orang berpendapat bahwa Soeharto
diduga kuat menjadi dalang dibalik pembantaian 1965 ini. Dikabarkan sekitar
satu juta setengah anggota komunis meninggal dan sebagian menghilang. Ini jelas
murni terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
8. Kasus Dukun Santet
di Banyuwangi
Peristiwa beserta pembunuhan ini
terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi lagi hangat-hangatnya
terjadi praktek dukun santet di desa-desa mereka. Warga sekitar yang berjumblah
banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan dan pembunuhan terhadap
orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumblah orang yang dituduh dukun
santet dibunuh, ada yang dipancung, dibacok bahkan dibakar hidup-hidup. Tentu
saja polisi bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam, mereka
menyelamatkan orang yang dituduh dukun santet yang masih selamat dari amukan
warga.
9. Peristiwa Abepura,
Papua
Peristiwa ini terjadi di Abepura,
Papua pada tahun 2003. Terjadi akibat penyisiran yang membabi buta terhadap
pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Komnas HAM menyimpulkan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM di peristiwa Albepura.
Selain contoh kasus di atas , contoh
pelanggaran HAM yang masih sering kita temui antara lain pelanggaran HAM yang
menimpa anak-anak dibawah umur , anak-anak jalanan yang di paksa oleh oknum
tertentu untuk mencari nafkah , mereka di eksploitasi untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka telah kehilangan hak sebagai
seorang anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari orangtuanya dan
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dalam usaha untuk mencegah dan
meminimalisir terjadinya pelanggaran ham seperti yang selama ini sering
terjadi. Di Indonesia ada sebuah lembaga bernama Komnas HAM (Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia) yang berfungsi diantaranya sebagai pemantau atau mengadakan
penyelidikan terhadap hal yang dinilai mengandung unsur pelanggaran.
Disamping itu komnas ham juga memiliki
fungsi sebagai penyuluh termasuk memberikan pendidikan baik kepada masyarakat,
penyelengara negara maupun institusi, lembaga atau kelompok masyarakat agar
tidak melakukan hal yang mengarah terhadap terjadinya pelanggaran, baik dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai institusi negara atau sebagai anggota
masyarakat yang memiliki hubungan interaksi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat .
Pada faktanya , seharusnya bukan
Komnas HAM saja yang harus bertindak untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM , tapi kita sebagai anggota masyarakat juga harus mempunyai
kesadaran untuk saling menghargai satu sama lain untuk menurunkan angka
kasus-kasus pelanggaran HAM , baik itu pelanggaran yang ringan ataupun berat.
B. DEMOKRASI YANG
PERNAH BERLANGSUNG DI INDONESIA
Periode Berlakunya Demokrasi
Liberal (1945-1959)
LATAR BELAKANG
Demokrasi
Liberal lebih sering disebut sebagai Demokrasi Parlementer. Pada tanggal 17 Agustus 1945
(Setelah Kemerdekaan Indonesia), Ir. Soekarno yang menjadi Ketua PPKI dipercaya
menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945, Ir. Soekarno
dilantik oleh Kasman Singodimedjo menjadi presiden Republik Indonesia pertama
beserta wakilnya yaitu Muhammad Hatta. Bersamaan dengan itu, dibentuk
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Badan ini bertujuan untuk
membantu tugas Presiden. Hasilnya antara lain :
1. Terbentuknya 12
departemen kenegaraan dalam pemerintahan yang
baru.
2. Pembagian wilayah
pemerintahan RI menjadi
8 provinsi yang masing-
masing
terdiri dari beberapa karesidenan.Tanggal 7 Oktober 1945 lahir
memorandum
yang ditandatangani oleh 50 orang dari 150 orang anggota
KNIP.
Isinya antara lain :
1) Mendesak
Presiden untuk segera membentuk MPR.
2) Meminta
kepada Presiden agar anggota-anggota KNIP turut berwenang melakukan fungsi dan
tugas MPR, sebelum badan tersebut terbentuk.
Tanggal 16 Oktober 1945 keluar Maklumat
Wakil Presiden No. X tahun 1945, yang isinya :
“Bahwa
komite nasional pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan
legislatif dan ikut menetapkan GBHN, serta menyetujui bahwa pekerjaan komite-komite
pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah
badan pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada komite
nasional pusat.”
Pada tanggal 3 November 1945,
keluar maklumat untuk kebebasan membentuk banyak partai atau multipartai
sebagai persiapan pemilu yang akan diselenggarakan bulan Juni 1946. Pada
tanggal 14 November 1945 terbentuk susunan kabinet berdasarkan sistem
parlementer (Demokrasi Liberal).
Ketika Indonesia menjalani
sistem Liberal, Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan
berdasarkan Undang – undang Dasar Sementara tahun 1950. Pemerintahan RI
dijalankan oleh suatu dewan mentri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana
menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Sistem
politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya
partai–partai politik, karena dalam system kepartaian menganut system multi
partai. Maka, PNI dan Masyumi lah yang menjalankan pemerintahan melalui
perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959 dan merupakan
partai yang terkuat dalam DPR. Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan
Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet.
KABINET-KABINET
DALAM MASA DEMOKRASI LIBERAL
a. Kabinet
Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet
Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet
Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet
Ali-Wongso (1 Agustus 1953-24 Juli 1955)
e. Kabinet
Burhanudin Harahap
f. Kabinet
Ali II (24 Maret 1957)
g. Kabinet
Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959)
Sejak berlakunya UUDS 1950 pada
17 Agustus 1950 dengan sistem demokrasi liberal selama 9 tahun tidak
menunjukkan adanya hasil yang sesuai harapan rakyat.
Bahkan, muncul disintegrasi bangsa.
Disintegrasi tersebut antara lain :
1) Pemberontakan
PRRI, Permesta, atau DI/TII yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
2) Konstituante
tidak berhasil menetapkan UUD sehingga negara benar-benar dalam keadaan
darurat.
3) Untuk
mengatasi hal tsb dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
4) Hal
ini menandakan bahwa Sistem demokrasi liberal tidak berhasil dilaksanakan di
Indonesia, karena tidak sesuai dengan pandangan hidup dan kepribadian bangsa
Indonesia.
Periode Berlakunya Demokrasi
Terpimpin (1959—1965)
LATAR BELAKANG
Pada
sistem ini berlaku sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juni 1959 yang
berbunyi sebagai berikut.
1)
Pembubaran Konstituante,
2)
Berlakunya kembali UUD 1945.
3)
Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dalam
Demokrasi Terpimpin ini menggunakan sistem presidensial. Dalam
sistem presidensial ini
mempunyai dua hal yang perlu diingat yaitu:
1)
kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dan
2) para
menteri bertanggung jawab kepada presiden.
Era tahun 1959 sampai dengan
1966 merupakan era Soekarno, yaitu ketika keijakan-kebijakan Presiden Soekarno
sangat mempengaruhi kondisi politik Indonesia. Kebijakan pemerintah
setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu:
A. Pembentukan MPRS
Presiden Soekarno membentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara berdasarkan Penpres no.2 tahun 1959.
Seluruh anggota MPRS tidak diangkat melalui pemilihan umum, tetapi diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan 3 syarat, yaitu :
1. Setuju
kembali kepada UUD 1945
2. Setia
kepada perjuangan RI
3. Setuju
kepada manifesto politik
B. Pembentukan
DPAS
C. Pembentukan
Kabinet Kerja
D. Pembentukan
Front Nasional
E. Penataan
Organisasi Pertahanan dan Keamanan
F. Penyederhanaan
Partai-partai Politik
G. Penyederhanaan
Ekonomi
Pengertian demokrasi terpimpin
menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Mufakat
Berporoskan Nasakom, dengan
ciri-ciri :
1.
Dominasi Presiden
2.
Terbatasnya peran partai politik
3.
Berkembangnya pengaruh PKI
Sama
seperti yang tercantum pada sila ke empat Pancasila, demokrasi terpimpin adalah
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan
tetapi presiden menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak di tangan
“Pemimpin Besar Revolusi”.
Situasi politik pada masa demokrasi
terpimpin diwarnaitiga kekuatan politik utama yaitu Soekarno,
PKI, dan AD.
Ketiga kekuatan tersebut saling
merangkul satu sama lain.Terutama PKI membutuhkan Soekarno untuk menghadapi
angkatan darat yang menyainginya dan meminta perlindungan. Begitu
juga angkatan darat,membutuhkan Soekarno untuk legitimasi keterlibatannya di
dunia politik.
Rakyat
maupun wakil rakyat tidak memiliki peranan penting dalam Demokrasi Terpimpin.
Akhirnya, pemerintahan Orde
Lama beserta Demokrasi terpimpinnya jatuh setelah terjadinya Peristiwa G 30
S/PKI pada tahun 1965 dengan diikuti krisis ekonomi yang cukup parah hingga
dikeluarkannya Supersemar (Surat perintah sebelas Maret).
Periode Berlakunya Demokrasi
Pancasila (1965—1998)
LATAR BELAKANG
Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang dijiwai olehsila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan yang berKetuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa perumusan tentang
demokrasi pancasila sebagai berikut :
a. Demokrasi
dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali azas negara
hukum dan kepastian hukum.
b. Demokrasi
dalam bidang ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua
warga negara.
c. Demokrasi
dalam bidang hukum pada hakekatnya membawa pengakuan dan perlindungan HAM,
peradilan yang bebas tidak memihak.
Secara umum dapat dijelaskan
bahwa watak demokrasi pancasila sama dengan demokrasi pada umumnya. Namun
“Demokrasi Pancasila” dalam rezim orde baru hanya sebagai retorika dan belum
sampai pada tatanan prasis atau penerapan. Karena dalam prate kenegaraan dan
pemerintahan rezim ini tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi, yang di
tandai oleh :
1. Dominanya peranan ABRI
2. Biro kratisasi dan sentralisasi pemgembalian keputusan politik.
3. Pesebirian peran dan fungsi partai politik.
4. Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan politk.
5. Masa mengembang.
6. Monolitisasi ideologi negara.
7. Info porasilembaga non pemerintah,
2. Biro kratisasi dan sentralisasi pemgembalian keputusan politik.
3. Pesebirian peran dan fungsi partai politik.
4. Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan politk.
5. Masa mengembang.
6. Monolitisasi ideologi negara.
7. Info porasilembaga non pemerintah,
Dengan demikian nlai demokrasi juga belum ditegaskan dalam demokrasi
Pancasila Soeharto.
Akibat
adanya tuntutan massa untuk diadakan reformasi di dalam segala bidang, rezim
Orde Baru tidak mampu mempertahankan kekuasaannya. Dan terpaksa Soeharto
mundur dari kekuasaannya dan kekuasaannya dilimpahkan kepada B.
J. Habibie pada 21 Mei 1998.
Periode Berlakunya Demokrasi dalam Era
Reformasi (1998-
Sekarang)
LATAR BELAKANG
Demokrasi yang dikembangkan
pada masa reformasi pada dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan
padaPancasila dan UUD 1945 dengan penyempurnaan. Meningkatkan
peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi Negara dengan menegaskan fungsi,
wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan
tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
Masa reformasi berusaha
membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
1. Keluarnya
Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998
2. Ketetapan
No. VII/MPR/1998
3. Tap
MPR RI No. XI/MPR/1998
4. Tap
MPR RI No. XIII/MPR/1998
5. Amandemen
UUD 1945
Pada
masa ini, Kepemimpinan rezim B. J. Habibie dikenal dengan nama Super Power,
karena dikuaai oleh orang-orang mua yang memiliki juwa reformasi dan demokrasi
yang tinggi. Namun, B.J. Habibie tidak mendapat dukungan
sosial politik dari sebagian besar masyarakat. Akibatnya B. J. Habibie tidak
mampu mempertahankan kekuasaannya dan lengser pada tahun 1999.
Kemudian, melalui pemilu
presiden yang ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid terpilih secara demokratis di
parlemen sebagai Presiden RI pada 21 Oktober 1999. Akan tetapi, karena K.H.
Abdurrahman Wahid membuat beberapa kebijakan yang kurang sejalan dengan
proses demokratisasi itu sendiri, maka pemerintahan sipil K.H. Abdurrahman
Wahid terpaksa tersingkir dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri pada 23
Juli 2001.
Megawati Soekarnoputri kembali
membangkitkan semangat sang ayah, Soekarno sebagai pelopor bangsa dengan
semangat Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan. Proses pemerintahan demokrasi
pada masa Megawati Soekarnoputri masih cukup sulit untuk dievaluasi dan
diketahui secara optimal. Akibatnya,ketidakpuasaan akan pelaksanaan pemerintahan
dirasakan kembali oleh rakyat dan hampir terjadi krisis kepemimpinan. Rakyat
merasa bahwa siapa yang berkuasa di pemerintahan hanya ingin mencari keuntungan
semata, bukan untuk kepentingan rakyat. Megawati pun akhirnya lengser pada
tahun 2004 digantikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang menjalani 2
periode pemerintahan (2004-2009 dan 2009-2014).
Sumber :
NERISSA ARVIANA / 35412288 / 1ID01