CONTOH
KASUS – ILMU TEKNOLOGI DAN LINGKUNGAN
Nerissa
Arviana/ 3ID04/ 35412288
A. CONTOH
KASUS
Untuk memenuhi kebutuhan kapasitas daya listrik nasional,
pemerintah melakukan berbagai upaya. Salah satu program
yang sedang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan kapasitas sistem
ketenagalistrikan nasional adalah dengan membangun 10.000 MW pembangkit listrik
berbahan batubara. Program pembangungan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap
ini didasarkan atas Peraturan Presiden RI No. 71 tahun 2006. Program ini memiliki
tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi pada saat sekarang ini dan
mengantisipasi pertumbuhan permintaan energi dalam beberapa tahun
kedepan. Program ini juga untuk menunjang peningkatan diversifikasi
energi dalam pembangkitan energi listrik.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
yang menggunakan bahan bakar batubara dijadikan pilihan dibandingkan pembangkit
listrik tenaga lain, karena faktor sumber daya alam berupa batubara tersedia
cukup besar di Indonesia sehingga masih mencukupi kebutuhan nasional hingga 60
sampai 70 tahun kedepan. PLTU juga merupakan sistem pembangkit listrik yang
paling efisien dan murah dibandingkan PLTN atau PLTD.
Pembangunan PLTU di desa Kanci Kulon
kecamatan Astanajapura yang berkapasitas 660 MW (megawatt) merupakan
upaya untuk menghadapi ancaman krisis listrik yang akan dialami Pulau Jawa –
Bali. PLTU Cirebon juga akan memperkuat pasokan listrik sistem Jawa Bali
sekaligus mengurangi porsi pemakaian BBM. Bagi Cirebon sendiri dengan adanya
PLTU ini maka Cirebon akan memiliki cadangan listrik yang akan dapat memenuhi
kebutuhan pasokan listrik di wilayahnya.
Pemilihan Cirebon sebagai lokasi
dibangunnya PLTU sangat dipengaruhi oleh letak Cirebon yang strategis dalam
kaitannya dengan jalur pasokan listrik Jawa – Bali dan letaknya yang tidak
terlalu jauh dari sumber daya alam batubara yang didatangkan dari Kalimantan
dan Sumatera, juga karena Cirebon telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG) yang dapat dijadikan sebagai gardu atau transit dari pasokan
listrik yang dihasilkan PLTU sebelum dilanjutkan dan disebarkan ke semua jalur
pasokan listrik di Jawa – Bali.
Konsekuensi dari sebuah pembangunan dalam hal ini
pembangunan PLTU yang menggunakan teknologi konversi batubara akan dapat
membawa dampak terhadap lingkungan baik dampak positif maupun negatif. Dampak
tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan dan
lingkungan. Pengaruh negatif struktur sosial masyarakat di sekitar
pembangunan PLTU yang mungkin bisa terjadi adalah perilaku atau kebiasaan
masyarakat menjadi lebih konsumtif dan ketidak harmonisan atau konflik sosial
antar warga. Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah dampak negatif terhadap
kualitas lingkungan.
Strategi yang tepat dapat diupayakan untuk mengantisipasi
dan menanggulangi dampak negatif yang terjadi. Pengembangan dan perbaikan
sistem serta teknologi penanggulangan dampak negatif telah telah diupayakan
misalnya teknologi pengelolaan polusi dan gas buang. Penyusunan rencana
pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan serta kontrol yang kuat dari
seluruh steakholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat) sangat
diperlukan untuk mengendalikan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
aktifitas PLTU tersebut. Dengan pengelolaan yang baik maka diharapkan kehadiran
usaha dan pembangunan dari suatu industri yang menggunakan suatu teknologi
tertentu memiliki daya guna dan manfaat yang tinggi bagi semua makhluk
hidup, baik manusia, flora, fauna, air, tanah dan ekositem lainnya. Berikut
adalah dampak negatif dari teknologi konversi batubara pada proses PLTU :
1. Hujan Asam
Hujan asam terutama terjadi diakibatkan
karena tingginya gas sulphur oksida dan nitrogen oksida (Peavy,et al,1985).Gas
SOx dan NOx akan bereaksi dengan uap air yang terdapat dalam atmosfer dan
mengalami oksidasi. Oksidasi gas SOx akan menghasilkan H2S, HSO3-
dan H2SO4 yang bersifat asam kuat, sedangkan oksidasi gas
NOx akan menghasilkan asam nitrat (HNO3). Pengaruh hujan asam adalah
asidifikasi (pengasaman) yang mengakibatkan : Terganggunya kesetimbangan ion
pada banyak organisme akuatik, sehingga akan menyebabkan kematian organisme
akuatik; Meningkatkan kadar logam, karena pengasaman akan melarutkan banyak
logam di perairan, misalnya merkuri dan aluminium; Menjadikan terganggunya
siklus nutrient ; Mengganggu proses dekomposisi, karena akan mengubah komposisi
mikroba ; Mengakibatkan penurunan alga yang hidup di perairan; merusak bangunan
karena mengakibatkan pengkaratan, dan lain-lain.
2. Green House Effect
CO2 yang dihasilkan dari
PLTU dapat menyebabkan efek rumah kaca, karena kumpulan gas tersebut akan
menyelubungi permukaan bumi. Oleh karena itu, cahaya matahari yang masuk ke
bumi tidak dapat lagi dipantulkan ke angkasa, sebab terperangkap di dalam bumi.
3. Penyakit pada Manusia
PLTU menghasilkan berbagai limbah
partikulat dan debu,seperti fly ash, debu silikat, oksida besi, dan lain
sebagainya. Limbah tersebut dapat menyebabkan gangguan dan penyakit pernapasan
pada manusia, contohnya adalah Pneumoconiosis, atau penyakit pengerasan
paru-paru, sehingga tidak dapat mengembang dan mengempis secara normal. Selain
itu, limbah radioaktif dari PLTU juga dapat mengganggu organ tubuh manusia,
karena umumnya bersifat karsinogen.
4. Kerusakan Biota
Logam-logam berat seperti Pb, Hg, Ar,
Ni, Se juga dihasilkan oleh PLTU. Logam berat ini apabila terakumulasi di
perairan dapat menyebabkan kematian organisma, terutama bila logam tersebut
tersuspensi dalam air limbah yang dibuang oleh PLTU dan kemudian menuju laut,
maka akan mencemari biota di laut lebih luas lagi.
B. SOLUSI
PENYELESAIAN KASUS
Beberapa solusi untuk
permasalahan kasus PLTU tersebut adalah:
Pengelolaan Limbah Padat dan Gas
a. Sistim
pembakaran batu bara bersih Pembakaran Lapisan Mengambang /Fluidized Bed
Combustion (FBC) .
Prinsip kerja
PLTU adalah batu bara yang akan digunakan/dipakai dibakar di dalam boiler
secara bertingkat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh laju pembakaran yang
rendah dan tanpa mengurangi suhu yang diperlukan sehingga diperoleh pembentukan
NOx yang rendah. Bila suhu pembakaran pada Bioler biasa adalah sekitar 1400 –
1500℃, maka dengan menggunakan FBC,
suhu pembakaran berkisar antara 850 – 900℃ saja sehingga kadar thermal NOx yang timbul dapat
ditekan. Proses pembakaran suhunya lebih rendah sehingga NOx yang dihasilkan kadarnya
menjadi rendah, dengan demikian sistim pembakaran ini bisa mengurangi polutan.
Bila ke dalam tungku boiler dimasukkan kapur (Ca) dan dari dasar tungku yang
bersuhu 750 – 950oC dimasukkan udara, akibatnya terbentuk lapisan
mengambang yang membakar. Pada lapisan itu terjadi reaksi kimia yang
menyebabkan sulfur terikat dengan kapur sehingga dihasilkan CaSO4
yang berupa debu sehingga mudah jatuh bersama abu sisa pembakaran. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya pengurangan emisi sampai 98% dan abu CaSO4-nya
bisa dimanfaatkan. Keuntungan sistim pembakaran ini adalah bisa menggunakan
batu bara bermutu rendah dengan kadar belerang yang tinggi, dan banyak
ditemukan di Indonesia.
b. Electrostatic Precipitator
Electrostatic
Precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap debu dengan
effisiensi tinggi (mencapai diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat cukup
besar. Dengan menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah
limbah debu yang keluar dari cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16 %
(efektifitas penangkapan debu mencapai 99,84%). Alat ini sudah digunakan
di PLTU di Indonesia. Cara kerja dari electrostatic precipitator (ESP)
adalah (1) melewatkan gas buang (flue gas) melalui suatu medan listrik
yang terbentuk antara discharge electrode dengan collector plate,
flue gas yang mengandung butiran debu pada awalnya bermuatan netral dan
pada saat melewati medan listrik, partikel debu tersebut akan terionisasi
sehingga partikel debu tersebut menjadi bermuatan negative. (2) Partikel debu
yang sekarang bermuatan negatif (-) kemudian menempel pada pelat-pelat
pengumpul (collector plate). Kemudian debu
yang dikumpulkan di collector plate dipindahkan kembali secara periodik
dari collector plate melalui suatu getaran (rapping). Debu ini
kemudian jatuh ke bak penampung (ash hopper).
c. FGD (Flue Gas Desulfurization)
FGD adalah alat yang berguna untuk menghilangkan/mereduksi Sulfur
Dioksida (SO2) dari flue gas (gas buang)
hasil pembakaran batubara PLTU. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis
karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam. Gipsum tersebut
dapat digunakan untuk bahan bangunan.
d. Reuse and Recycle Material
Contoh limbah
padat yang dihasilkan dari PLTU batu bara adalah fly bottom ash yang
masih mengandung fixed carbon, sehingga apabila tidak dikelola dengan
baik akan menghasilkan gas metana. Partikulat ini dapat di recycle untuk
industri semen sebagai pengganti batuan trass yang bersifat pozzolanic
untuk pembuatan semen tahan asam (PPC).
Pengelolaan Limbah Cair
Limbah cair keluaran dari PLTU berasal dari beberapa
tempat antara lain air sisa boiler (Boiler Blowdown), air
sublimasi dari FGD (FGD Blowdown), air limpasan hujan di kolam abu (Ash
Run Off) dan air limpasan hujan di penampungan batu bara (Coal Run Off).
Air yang masih mengandung material berbahaya diolah dalam beberapa proses
antara lain, netralisasi dan sedimentasi.
Tahapan proses
yang terjadi adalah :
Netralisasi yaitu proses
penyesuaian pH air limbah. pH air limbah harus disesuaikan dengan kondisi ideal
ekosistem biota laut yakni antara 6-9. Air limbah dengan kadar pH yang masih
berbahaya dicampurkan dengan senyawa lain agar menjadi lebih ramah lingkungan.
Flokulasi / Sedimentasi
yaitu proses penggumpalan bahan-bahan terlarut sehingga mudah untuk
diendapkan.Setelah mengendap, endapan tersebut dipadatkan. Padatan itu kemudian
ditempatkan di Kolam Abu. Kolam Abu ini dilapisi oleh plastik dengan tingkat
kekedapan air yang amat tinggi sehingga menutup kemungkinan limbah berbahaya di
atasnya dapat terserap ke dalam tanah. Semua proses tersebut mengubah material
berbahaya menjadi material yang bersahabat dengan lingkungan.
Upaya
untuk peningkatan pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan metode mengubah
atau memanfaatkan limbah menjadi produk baru yang bernilai ekonomis.
Pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Mengolah Polutan menjadi Gipsum
Proses ini dimulai dengan pemisahan
polutan yang dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas
buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas flue gas desulfurization (FGD) kemudian
disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen
menjadi SO3. Gas buang selanjutnyadidinginkan dengan air, sehingga SO3 bereaksi
dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya
direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum
(gypsum). Gas buang yang keluar dari sistim FGD sudah terbebas dari oksida
sulfur.
2. Mengolah
polutan menjadi pupuk
Peralatan
berteknologi tinggi lain yang kini mulai dipakai untuk mengolah polutan penyebab
hujan asam adalah electron beam machine atau Mesin Berkas Elektron (MBE).
Proses pembersihan gas buang dilakukan dengan mendinginkan SOx dan NOx dengan
semburan air (H2O). Ke dalam campuran senyawa ini selanjutnya ditambahkan gas
ammonia dan dialirkan ke dalam tabung pereaksi (vessel). Campuran senyawa yang
mengalir dalam tabung pereaksi ini selanjutnya diirradiasi dengan berkas
elektron. Gas-gas polutan akan berubah, SOx menjadi SO3 dan Nox menjadi NO3
karena mendapatkan tambahan energi dari elektron. Kedua senyawa tersebut
bereaksi dengan air sehingga dihasilkan produk antara (intermediate product) berupa asam
sulfat dan asam nitrat. Setelah 0,1 detik dari proses irradiasi, produk antara
(asam sulfat dan asam nitrat) bereaksi dengan ammonia sehingga dihasilkan
produk akhir berupa ammonium sulfat dan ammonium nitrat. Kedua senyawa ini
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk sulfat dan pupuk nitrogen.
Sumber: