CONTOH
KASUS - SUMBER DAYA ALAM
Nerissa
Arviana/ 3ID04/ 35412288
A. CONTOH
KASUS
Eksploitasi kayu di Kalimantan telah berlangsung lama dan
menempati kedudukan yang penting selama penjajahan Belanda. Mulai tahun 1904
sejumlah konsesi penebagan hutan telah diberikan di bagian hulu Sungai Barito
dan daerah-daerah Swapraja di pantai timur, khusunya Kutai. Kayu yang di
eksploitasi 80% adalah kayu Depterocarpaceae, sedangkan kayu yang berasal dari
pantai timur terutama adalah kayu besi. Hamparan hutan Dipterocarpaceae yang
luas di pantai timur lebih sukar untuk dieksploitasi dan berbagai upaya pada
permulaan gagal, meskipun dengan penanaman modal besar.
Pembalakan kayu secara massif dimulai pada tahun 1967, saat
itu 77% luas hutan atau seluas 41.470.000 dinyatakan milik negara. Pada waktu
itu pemerintah menghadapi masalah-masalah ekonomi yang berat sehingga
membirikan konsesi kayu dengan murah kepada perusahaan-perusahaan asing yang
berniat untuk mengeksploitasi hutan tropis yang luas.
Menjelang
tahun 1972 luas daerah konsesi mencapai 26,2 juta hektar dan kemudian meningkat
menjadi 31 juta ha pada tahun 1982 terutama di Kalteng dan Kaltim.
Kelangkaan suatu jenis pohon tak lepas dari aktivitas
perekonomian di sekitar pohon itu tumbuh, padahal pada saat lingkungan hidup
belum banyak didominasi oleh aktivitas manusia, alam selalu akan menyeimbangkan
dirinya bila terjadi sesuatu atas dirinya. Di sebuah hutan siklus hidup
sebatang pohon sangat jelas, mulai dari biji yang jatuh dari pohon atau dibawa
binatang atau ditiup angin, tumbuh menjadi anakan pohon, lalu menjadi pohon
muda, berkembang menjadi pohon dewasa dan akhirnya tumbang karena usia. Di sekitar
bangkai pohon akan tumbuh anak keturunannya akibat permudaan alam,
kadang-kadang pohon tumbuh jauh dari induknya karena biji dibawa burung atau
tertiup angin dan jatuh di tempat yang jauh.
Bagaimana keseimbangan alam setelah manusia campur tangan karena
membutuhkannya? Selama kebutuhannya masih belum banyak, masih dibawah
produktivitas alam, maka pohon tidak akan menjadi langka. Akan tetapi
bila pohon ditebangi dalam jumlah banyak dan terus menerus tanpa ada usaha yang
memadai untuk menanamnya kembali, maka dapat dipastikan satu jenis atau
beberapa jenis pohon akan makin langka dan lama-lama tinggal kenangan.
Eksploitasi
hutan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku sejak akhir 1960-an telah
memperlihatkan dampaknya sekarang. Kayu Eboni asal Sulawesi Tengah yang
bertekstur eksotis bewarna hitam makin sulit diperoleh. Kayu Besi di
Kalimantan makin langka. Kayu Keruing di hutan Aceh barangkali juga
sempat mengarah menjadi langka, namun pergolakan bersenjata di daerah itu pada
tahun 1980-an sampai pertengahan tahun 2000-an secara tidak sengaja menghambat
kerusakan hutan kelangkaan beberapa jenis pohon komersil. Mudah-mudahan
setelah tercapai perdamaian eksploitasi hutan berlebihan tidak terjadi.
Kayu komersial seperti Jati dan Pinus masih jauh dari
langka, karena kedua jenis pohon ini dibudidayakan dan penebangannya diatur
ketat agar tidak melebihi kemampuan untuk meremajakannya. Mungkin kedua
jenis pohon kayu komersial inipun suatu saat harus diselamatkan dengan jeda
atau moratorium penebangan, karena bagaimanapun bila menuruti hawa nafsu,
menebang pohon lebih mudah dan jauh lebih cepat daripada menanam dan
menumbuhkannya sampai dewasa. Bayangkan masak tebang pohon Jati itu
mencapai 80 tahun.
Koalisi Anti-Mafia
Hutan bersama Forest Trends meluncurkan laporan yang menunjukkan konsumsi kayu
berlebih oleh industri kehutanan selama 14 tahun terakhir. Tak
tanggung-tanggung, menurut laporan tersebut jumlahnya mencapai 30 persen—atau
sekitar 219 juta meter kubik—dari jumlah seluruh pasokan kayu nasional tak
tercatat oleh Kementerian Kehutanan.
“Kelebihan tersebut
didapat dari kayu ilegal, yang diduga diambil dari hutan alam,” kata Grahat
Nagara, juru bicara Koalisi, dalam konferensi pers di sebuah restoran di
bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 17 Februari 2015. Laporan ini berjudul Indonesia’s
Legal Timber Supply Gap and Implication for Expansions of Milling Capacity.
Laporan ini merupakan hasil perbandingan antara data persediaan kayu dari
Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan
data volume produksi yang dilaporkan pihak industri kehutanan.
Artinya, Grahat beranggapan, negara menanggung rugi yang cukup besar. Tak hanya itu, menurut dia, laporan ini menggambarkan ancaman bagi kelestarian hutan alam Indonesia. “Praktik tebang habis hutan alam masih terjadi,” ujarnya. Padahal, pemerintah mensyaratkan praktek tebang pilih untuk pengelola hutan tanam industri (HTI).
Artinya, Grahat beranggapan, negara menanggung rugi yang cukup besar. Tak hanya itu, menurut dia, laporan ini menggambarkan ancaman bagi kelestarian hutan alam Indonesia. “Praktik tebang habis hutan alam masih terjadi,” ujarnya. Padahal, pemerintah mensyaratkan praktek tebang pilih untuk pengelola hutan tanam industri (HTI).
Koalisi dan Forest Trends pun sempat
menghitung kerugian negara tersebut. Dalam laporannya mereka menulis penerimaan
negara bukan pajak (PNBP) yang tidak terserap negara setidaknya mencapai US$ 250
juta, atau setara dengan Rp 3 triliun per tahunnya. Sebesar Rp 1,9 triliun
pendapatan negara dari provinsi sumber daya hutan (PSDH) per tahunnya, menurut
laporan yang sama, juga akan sirna. Jika dihitung total sejak tahun 1991, kata
Grahat, potensi kerugian negara mencapai Rp 55 triliun. Nilai total kerugian
akan jauh lebih tinggi jika memasukkan perhitungan penggantian nilai tegakan
(PNT) saat membuka lahan.
Meski begitu, laporan ini tidak menyebutkan daftar perusahaan ‘bandel’ tersebut. Alasannya, bukan hal tersebut yang ingin ditampilkan. Melainkan jumlah penggunaan yang semakin tinggi. Grahat mengatakan jumlah tersebut kemungkinan besar akan bertambah mengingat jumlah pabrik kertas dan pulp di Indonesia yang cukup banyak. Investasi pabrik baru, menurut dia, akan menggandakan pasokan kayu untuk memenuhi permintaan. Dalam laporannya, Koalisi dan Forest Trends menghitung kenaikan penggunaan kayu akan mencapai 59 persen.
Meski begitu, laporan ini tidak menyebutkan daftar perusahaan ‘bandel’ tersebut. Alasannya, bukan hal tersebut yang ingin ditampilkan. Melainkan jumlah penggunaan yang semakin tinggi. Grahat mengatakan jumlah tersebut kemungkinan besar akan bertambah mengingat jumlah pabrik kertas dan pulp di Indonesia yang cukup banyak. Investasi pabrik baru, menurut dia, akan menggandakan pasokan kayu untuk memenuhi permintaan. Dalam laporannya, Koalisi dan Forest Trends menghitung kenaikan penggunaan kayu akan mencapai 59 persen.
Kurangnya ketersediaan
kayu legal tak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tapi juga menyebabkan
industri akan terus bergantung dari persediaan kayu hutan alam. Lebih parah
lagi, jumlah konversi hutan alam semakin bertambah. Kementerian Kehutanan
pernah mencatat bahwa industri memasok kayu dari konversi hutan sampai dua kali
lipat lebih besar dari penebangan di HTI dan HPH. Karena beberapa fakta
tersebut, Koalisi dan Forest Trends meminta Kementerian LH dan Kehutanan untuk
merevisi strategi pembangunan kehutanan dan Peta Jalan Revitalisasi Industri
Kehutanan. Selain itu, Grahat mengatakan, Kementerian juga harus menerbitkan
tiga hal, yakni melarang peningkatan kapasitas pengolahan, tidak menambah izin
baru industri kehutanan, dan meningkatkan produktivitas HTI.
B. SOLUSI
PENYELESAIAN KASUS
Bagi Pemerintah Indonesia
Memusatkan upaya penegakan hukum terhadap pengurus utama
pengambilan ilegal serta pendukung mereka di kalangan birokrasi, aparat
keamanan dan legislative, Mengenakan sanksi yang lebih berat bagi kejahatan
sumberdaya serta membentuk program perlindungan saksi yang dapat dipercaya, Memperkecil
kapasitas perusahaan-perusahaan perkayuan, pemusatan pada eksportir besar dan
mengadakan konsultasi dengan legislatif, pekerja dan masyarakat untuk
menjelaskan kenapa diperlukan pengurangan tersebut, Mengharuskan BPPN meninjau
kembali setiap perjanjian restrukturisasi hutang yang ada yang bisa mendukung
penggunaan kayu illegal, Menghidupkan kembali komisi antar departemen di bidang
kehutanan dan menjamin pendanaan serta dukungan yang diperlukan untuk
menjalankan tugasnya, dan Menyederhanakan pengaturan sumberdaya alam, termasuk
mencabut peraturan daerah yang memajak sumberdaya yang diperoleh secara ilegal.
Bagi Pimpinan Tni Dan Polisi
Menindak perwira yang melakukan atau melindungi perbuatan
pengambilan sumberdaya secara illegal, Mendorong pengadaan pelatihan tambahan
untuk polisi bagi penyelidikan yang berhubungan dengan lingkungan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar