Sabtu, 09 Mei 2015

KASUS MENGENAI SUMBER DAYA ALAM



CONTOH KASUS - SUMBER DAYA ALAM
Nerissa Arviana/ 3ID04/ 35412288

A.        CONTOH KASUS
Eksploitasi kayu di Kalimantan telah berlangsung lama dan menempati kedudukan yang penting selama penjajahan Belanda. Mulai tahun 1904 sejumlah konsesi penebagan hutan telah diberikan di bagian hulu Sungai Barito dan daerah-daerah Swapraja di pantai timur, khusunya Kutai. Kayu yang di eksploitasi 80% adalah kayu Depterocarpaceae, sedangkan kayu yang berasal dari pantai timur terutama adalah kayu besi. Hamparan hutan Dipterocarpaceae yang luas di pantai timur lebih sukar untuk dieksploitasi dan berbagai upaya pada permulaan gagal, meskipun dengan penanaman modal besar.
Pembalakan kayu secara massif dimulai pada tahun 1967, saat itu 77% luas hutan atau seluas 41.470.000 dinyatakan milik negara. Pada waktu itu pemerintah menghadapi masalah-masalah ekonomi yang berat sehingga membirikan konsesi kayu dengan murah kepada perusahaan-perusahaan asing yang berniat untuk mengeksploitasi hutan tropis yang luas.
Menjelang tahun 1972 luas daerah konsesi mencapai 26,2 juta hektar dan kemudian meningkat menjadi 31 juta ha pada tahun 1982 terutama di Kalteng dan Kaltim.
Kelangkaan suatu jenis pohon tak lepas dari aktivitas perekonomian di sekitar pohon itu tumbuh, padahal pada saat lingkungan hidup belum banyak didominasi oleh aktivitas manusia, alam selalu akan menyeimbangkan dirinya bila terjadi sesuatu atas dirinya.  Di sebuah hutan siklus hidup sebatang pohon sangat jelas, mulai dari biji yang jatuh dari pohon atau dibawa binatang atau ditiup angin, tumbuh menjadi anakan pohon, lalu menjadi pohon muda, berkembang menjadi pohon dewasa dan akhirnya tumbang karena usia. Di sekitar bangkai pohon akan tumbuh anak keturunannya akibat permudaan alam, kadang-kadang pohon tumbuh jauh dari induknya karena biji dibawa burung atau tertiup angin dan jatuh di tempat yang jauh.
Bagaimana keseimbangan alam setelah manusia campur tangan karena membutuhkannya?  Selama kebutuhannya masih belum banyak, masih dibawah produktivitas alam, maka pohon tidak akan menjadi langka.  Akan tetapi bila pohon ditebangi dalam jumlah banyak dan terus menerus tanpa ada usaha yang memadai untuk menanamnya kembali, maka dapat dipastikan satu jenis atau beberapa jenis pohon akan makin langka dan lama-lama tinggal kenangan.
Eksploitasi hutan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku sejak akhir 1960-an telah memperlihatkan dampaknya sekarang.  Kayu Eboni asal Sulawesi Tengah yang bertekstur eksotis bewarna hitam makin sulit diperoleh.  Kayu Besi di Kalimantan makin langka.  Kayu Keruing di hutan Aceh barangkali juga sempat mengarah menjadi langka, namun pergolakan bersenjata di daerah itu pada tahun 1980-an sampai pertengahan tahun 2000-an secara tidak sengaja menghambat kerusakan hutan kelangkaan beberapa jenis pohon komersil.  Mudah-mudahan setelah tercapai perdamaian eksploitasi hutan berlebihan tidak terjadi.
Kayu komersial seperti Jati dan Pinus masih jauh dari langka, karena kedua jenis pohon ini dibudidayakan dan penebangannya diatur ketat agar tidak melebihi kemampuan untuk meremajakannya.  Mungkin kedua jenis pohon kayu komersial inipun suatu saat harus diselamatkan dengan jeda atau moratorium penebangan, karena bagaimanapun bila menuruti hawa nafsu, menebang pohon lebih mudah dan jauh lebih cepat daripada menanam dan menumbuhkannya sampai dewasa.  Bayangkan masak tebang pohon Jati itu mencapai 80 tahun.
Koalisi Anti-Mafia Hutan bersama Forest Trends meluncurkan laporan yang menunjukkan konsumsi kayu berlebih oleh industri kehutanan selama 14 tahun terakhir. Tak tanggung-tanggung, menurut laporan tersebut jumlahnya mencapai 30 persen—atau sekitar 219 juta meter kubik—dari jumlah seluruh pasokan kayu nasional tak tercatat oleh Kementerian Kehutanan.
“Kelebihan tersebut didapat dari kayu ilegal, yang diduga diambil dari hutan alam,” kata Grahat Nagara, juru bicara Koalisi, dalam konferensi pers di sebuah restoran di bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 17 Februari 2015. Laporan ini berjudul Indonesia’s Legal Timber Supply Gap and Implication for Expansions of Milling Capacity. Laporan ini merupakan hasil perbandingan antara data persediaan kayu dari Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan data volume produksi yang dilaporkan pihak industri kehutanan.
Artinya, Grahat beranggapan, negara menanggung rugi yang cukup besar. Tak hanya itu, menurut dia, laporan ini menggambarkan ancaman bagi kelestarian hutan alam Indonesia. “Praktik tebang habis hutan alam masih terjadi,” ujarnya. Padahal, pemerintah mensyaratkan praktek tebang pilih untuk pengelola hutan tanam industri (HTI).
Koalisi dan Forest Trends pun sempat menghitung kerugian negara tersebut. Dalam laporannya mereka menulis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak terserap negara setidaknya mencapai US$ 250 juta, atau setara dengan Rp 3 triliun per tahunnya. Sebesar Rp 1,9 triliun pendapatan negara dari provinsi sumber daya hutan (PSDH) per tahunnya, menurut laporan yang sama, juga akan sirna. Jika dihitung total sejak tahun 1991, kata Grahat, potensi kerugian negara mencapai Rp 55 triliun. Nilai total kerugian akan jauh lebih tinggi jika memasukkan perhitungan penggantian nilai tegakan (PNT) saat membuka lahan.
Meski begitu, laporan ini tidak menyebutkan daftar perusahaan ‘bandel’ tersebut. Alasannya, bukan hal tersebut yang ingin ditampilkan. Melainkan jumlah penggunaan yang semakin tinggi. Grahat mengatakan jumlah tersebut kemungkinan besar akan bertambah mengingat jumlah pabrik kertas dan pulp di Indonesia yang cukup banyak. Investasi pabrik baru, menurut dia, akan menggandakan pasokan kayu untuk memenuhi permintaan. Dalam laporannya, Koalisi dan Forest Trends menghitung kenaikan penggunaan kayu akan mencapai 59 persen.
Kurangnya ketersediaan kayu legal tak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tapi juga menyebabkan industri akan terus bergantung dari persediaan kayu hutan alam. Lebih parah lagi, jumlah konversi hutan alam semakin bertambah. Kementerian Kehutanan pernah mencatat bahwa industri memasok kayu dari konversi hutan sampai dua kali lipat lebih besar dari penebangan di HTI dan HPH. Karena beberapa fakta tersebut, Koalisi dan Forest Trends meminta Kementerian LH dan Kehutanan untuk merevisi strategi pembangunan kehutanan dan Peta Jalan Revitalisasi Industri Kehutanan. Selain itu, Grahat mengatakan, Kementerian juga harus menerbitkan tiga hal, yakni melarang peningkatan kapasitas pengolahan, tidak menambah izin baru industri kehutanan, dan meningkatkan produktivitas HTI.

B.        SOLUSI PENYELESAIAN KASUS
Bagi Pemerintah Indonesia
Memusatkan upaya penegakan hukum terhadap pengurus utama pengambilan ilegal serta pendukung mereka di kalangan birokrasi, aparat keamanan dan legislative, Mengenakan sanksi yang lebih berat bagi kejahatan sumberdaya serta membentuk program perlindungan saksi yang dapat dipercaya, Memperkecil kapasitas perusahaan-perusahaan perkayuan, pemusatan pada eksportir besar dan mengadakan konsultasi dengan legislatif, pekerja dan masyarakat untuk menjelaskan kenapa diperlukan pengurangan tersebut, Mengharuskan BPPN meninjau kembali setiap perjanjian restrukturisasi hutang yang ada yang bisa mendukung penggunaan kayu illegal, Menghidupkan kembali komisi antar departemen di bidang kehutanan dan menjamin pendanaan serta dukungan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya, dan Menyederhanakan pengaturan sumberdaya alam, termasuk mencabut peraturan daerah yang memajak sumberdaya yang diperoleh secara ilegal.

Bagi Pimpinan Tni Dan Polisi
Menindak perwira yang melakukan atau melindungi perbuatan pengambilan sumberdaya secara illegal, Mendorong pengadaan pelatihan tambahan untuk polisi bagi penyelidikan yang berhubungan dengan lingkungan.

Sumber:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar