Minggu, 28 Juni 2015

CONTOH KASUS-ILMU TEKNOLOGI DAN LINGKUNGAN



CONTOH KASUS – ILMU TEKNOLOGI DAN LINGKUNGAN
Nerissa Arviana/ 3ID04/ 35412288

A.        CONTOH KASUS
Untuk memenuhi kebutuhan kapasitas daya listrik nasional, pemerintah melakukan berbagai upaya. Salah satu program yang sedang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan kapasitas sistem ketenagalistrikan nasional adalah dengan membangun 10.000 MW pembangkit listrik berbahan batubara. Program pembangungan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap ini didasarkan atas Peraturan Presiden RI No. 71 tahun 2006. Program ini memiliki tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi pada saat sekarang ini dan mengantisipasi pertumbuhan permintaan energi dalam beberapa tahun kedepan.  Program ini juga untuk menunjang peningkatan diversifikasi  energi  dalam pembangkitan energi listrik.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batubara dijadikan pilihan dibandingkan pembangkit listrik tenaga lain, karena faktor sumber daya alam berupa batubara tersedia cukup besar di Indonesia sehingga masih mencukupi kebutuhan nasional hingga 60 sampai 70 tahun kedepan. PLTU juga merupakan sistem pembangkit listrik yang paling efisien dan murah dibandingkan PLTN atau PLTD.
Pembangunan PLTU di desa Kanci Kulon kecamatan Astanajapura yang berkapasitas 660 MW (megawatt)  merupakan upaya untuk menghadapi ancaman krisis listrik yang akan dialami Pulau Jawa – Bali. PLTU Cirebon juga akan memperkuat pasokan listrik sistem Jawa Bali sekaligus mengurangi porsi pemakaian BBM. Bagi Cirebon sendiri dengan adanya PLTU ini maka Cirebon akan memiliki cadangan listrik yang akan dapat memenuhi kebutuhan pasokan listrik di wilayahnya.
Pemilihan Cirebon sebagai lokasi dibangunnya PLTU sangat dipengaruhi oleh letak Cirebon yang strategis dalam kaitannya dengan jalur pasokan listrik Jawa – Bali dan letaknya yang tidak terlalu jauh dari sumber daya alam batubara yang didatangkan dari Kalimantan dan Sumatera, juga karena Cirebon telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang dapat dijadikan sebagai  gardu atau transit dari pasokan listrik yang dihasilkan PLTU sebelum dilanjutkan dan disebarkan ke semua jalur pasokan listrik di Jawa – Bali.
Konsekuensi dari sebuah pembangunan dalam hal ini pembangunan PLTU yang menggunakan teknologi konversi batubara akan dapat membawa dampak terhadap lingkungan baik dampak positif maupun negatif. Dampak tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan dan  lingkungan.  Pengaruh negatif struktur sosial masyarakat di sekitar pembangunan PLTU yang mungkin bisa terjadi adalah perilaku atau kebiasaan masyarakat menjadi lebih konsumtif dan ketidak harmonisan atau konflik sosial antar warga. Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah dampak negatif terhadap kualitas lingkungan.
Strategi yang tepat dapat diupayakan untuk mengantisipasi dan menanggulangi  dampak negatif yang terjadi. Pengembangan dan perbaikan sistem serta teknologi penanggulangan dampak negatif telah telah diupayakan misalnya teknologi pengelolaan polusi dan gas buang. Penyusunan rencana pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan serta kontrol yang kuat dari seluruh steakholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat) sangat diperlukan untuk  mengendalikan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas PLTU tersebut. Dengan pengelolaan yang baik maka diharapkan kehadiran usaha dan pembangunan dari suatu industri yang menggunakan suatu teknologi tertentu  memiliki daya guna dan manfaat yang tinggi bagi semua makhluk hidup, baik manusia, flora, fauna, air, tanah dan ekositem lainnya. Berikut adalah  dampak negatif dari teknologi konversi batubara pada proses PLTU :
1.      Hujan Asam
Hujan asam terutama terjadi diakibatkan karena tingginya gas sulphur oksida dan nitrogen oksida (Peavy,et al,1985).Gas SOx dan NOx akan bereaksi  dengan uap air yang terdapat dalam atmosfer dan mengalami oksidasi. Oksidasi gas SOx akan menghasilkan H2S, HSO3- dan H2SO4 yang bersifat asam kuat, sedangkan oksidasi gas NOx akan menghasilkan asam nitrat (HNO3). Pengaruh hujan asam adalah asidifikasi (pengasaman) yang mengakibatkan : Terganggunya kesetimbangan ion pada banyak organisme akuatik, sehingga akan menyebabkan kematian organisme akuatik; Meningkatkan kadar logam, karena pengasaman akan melarutkan banyak logam di perairan, misalnya merkuri dan aluminium; Menjadikan terganggunya siklus nutrient ; Mengganggu proses dekomposisi, karena akan mengubah komposisi mikroba ; Mengakibatkan penurunan alga yang hidup di perairan; merusak bangunan karena mengakibatkan pengkaratan, dan lain-lain.
2.      Green House Effect
CO2 yang dihasilkan dari PLTU dapat menyebabkan efek rumah kaca, karena kumpulan gas tersebut akan menyelubungi permukaan bumi. Oleh karena itu, cahaya matahari yang masuk ke bumi tidak dapat lagi dipantulkan ke angkasa, sebab terperangkap di dalam bumi.
3.      Penyakit pada Manusia
PLTU menghasilkan berbagai limbah partikulat dan debu,seperti fly ash, debu silikat, oksida besi, dan lain sebagainya. Limbah tersebut dapat menyebabkan gangguan dan penyakit pernapasan pada manusia, contohnya adalah Pneumoconiosis, atau penyakit pengerasan paru-paru, sehingga tidak dapat mengembang dan mengempis secara normal. Selain itu, limbah radioaktif dari PLTU juga dapat mengganggu organ tubuh manusia, karena umumnya bersifat karsinogen.
4.      Kerusakan Biota
Logam-logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se juga dihasilkan oleh PLTU. Logam berat ini apabila terakumulasi di perairan dapat menyebabkan kematian organisma, terutama bila logam tersebut tersuspensi dalam air limbah yang dibuang oleh PLTU dan kemudian menuju laut, maka akan mencemari biota di laut lebih luas lagi.

B.        SOLUSI PENYELESAIAN KASUS
Beberapa solusi untuk permasalahan kasus PLTU tersebut adalah:
Pengelolaan Limbah Padat dan Gas
a.  Sistim pembakaran batu bara bersih Pembakaran Lapisan Mengambang /Fluidized Bed Combustion (FBC) .
Prinsip kerja PLTU adalah batu bara yang akan digunakan/dipakai dibakar di dalam boiler secara bertingkat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh laju pembakaran yang rendah dan tanpa mengurangi suhu yang diperlukan sehingga diperoleh pembentukan NOx yang rendah. Bila suhu pembakaran pada Bioler biasa adalah sekitar 1400 – 1500, maka dengan menggunakan FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 – 900 saja sehingga kadar thermal NOx yang timbul dapat ditekan. Proses pembakaran suhunya lebih rendah sehingga NOx yang dihasilkan kadarnya menjadi rendah, dengan demikian sistim pembakaran ini bisa mengurangi polutan. Bila ke dalam tungku boiler dimasukkan kapur (Ca) dan dari dasar tungku yang bersuhu 750 – 950oC dimasukkan udara, akibatnya terbentuk lapisan mengambang yang membakar. Pada lapisan itu terjadi reaksi kimia yang menyebabkan sulfur terikat dengan kapur sehingga dihasilkan CaSO4 yang berupa debu sehingga mudah jatuh bersama abu sisa pembakaran. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pengurangan emisi sampai 98% dan abu CaSO4-nya bisa dimanfaatkan. Keuntungan sistim pembakaran ini adalah bisa menggunakan batu bara bermutu rendah dengan kadar belerang yang tinggi, dan banyak ditemukan di Indonesia.
b. Electrostatic Precipitator
Electrostatic Precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap debu dengan effisiensi tinggi (mencapai diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat cukup besar. Dengan menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah limbah debu yang keluar dari cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16 % (efektifitas penangkapan debu mencapai 99,84%). Alat ini sudah digunakan di PLTU di Indonesia. Cara kerja dari electrostatic precipitator (ESP) adalah (1) melewatkan gas buang (flue gas) melalui suatu medan listrik yang terbentuk antara discharge electrode dengan collector plate, flue gas yang mengandung butiran debu pada awalnya bermuatan netral dan pada saat melewati medan listrik, partikel debu tersebut akan terionisasi sehingga partikel debu tersebut menjadi bermuatan negative. (2) Partikel debu yang sekarang bermuatan negatif (-) kemudian menempel pada pelat-pelat pengumpul (collector plate). Kemudian debu yang dikumpulkan di collector plate dipindahkan kembali secara periodik dari collector plate melalui suatu getaran (rapping). Debu ini kemudian jatuh ke bak penampung (ash hopper).
c. FGD (Flue Gas Desulfurization)
FGD adalah alat yang berguna untuk menghilangkan/mereduksi Sulfur Dioksida (SO2) dari flue gas (gas buang) hasil pembakaran batubara PLTU. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam. Gipsum tersebut dapat digunakan untuk bahan bangunan.
d. Reuse and Recycle Material
Contoh limbah padat yang dihasilkan dari PLTU batu bara adalah fly bottom ash yang masih mengandung fixed carbon, sehingga apabila tidak dikelola dengan baik akan menghasilkan gas metana. Partikulat ini dapat di recycle untuk industri semen sebagai pengganti batuan trass yang bersifat pozzolanic untuk pembuatan semen tahan asam (PPC).
Pengelolaan Limbah Cair
Limbah cair keluaran dari PLTU berasal dari beberapa tempat antara lain air sisa boiler (Boiler Blowdown), air sublimasi dari FGD (FGD Blowdown), air limpasan hujan di kolam abu (Ash Run Off) dan air limpasan hujan di penampungan batu bara (Coal Run Off). Air yang masih mengandung material berbahaya diolah dalam beberapa proses antara lain, netralisasi dan sedimentasi.
Tahapan proses yang terjadi adalah :
Netralisasi yaitu proses penyesuaian pH air limbah. pH air limbah harus disesuaikan dengan kondisi ideal ekosistem biota laut yakni antara 6-9. Air limbah dengan kadar pH yang masih berbahaya dicampurkan dengan senyawa lain agar menjadi lebih ramah lingkungan.
Flokulasi / Sedimentasi yaitu proses penggumpalan bahan-bahan terlarut sehingga mudah untuk diendapkan.Setelah mengendap, endapan tersebut dipadatkan. Padatan itu kemudian ditempatkan di Kolam Abu. Kolam Abu ini dilapisi oleh plastik dengan tingkat kekedapan air yang amat tinggi sehingga menutup kemungkinan limbah berbahaya di atasnya dapat terserap ke dalam tanah. Semua proses tersebut mengubah material berbahaya menjadi material yang bersahabat dengan lingkungan.
Upaya untuk peningkatan pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan metode mengubah atau memanfaatkan limbah menjadi produk baru yang bernilai ekonomis. Pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Mengolah Polutan menjadi Gipsum
Proses ini dimulai dengan pemisahan polutan yang dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas flue gas desulfurization (FGD) kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnyadidinginkan dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistim FGD sudah terbebas dari oksida sulfur.
2.      Mengolah polutan menjadi pupuk
Peralatan berteknologi tinggi lain yang kini mulai dipakai untuk mengolah polutan penyebab hujan asam adalah electron beam machine atau Mesin Berkas Elektron (MBE). Proses pembersihan gas buang dilakukan dengan mendinginkan SOx dan NOx dengan semburan air (H2O). Ke dalam campuran senyawa ini selanjutnya ditambahkan gas ammonia dan dialirkan ke dalam tabung pereaksi (vessel). Campuran senyawa yang mengalir dalam tabung pereaksi ini selanjutnya diirradiasi dengan berkas elektron. Gas-gas polutan akan berubah, SOx menjadi SO3 dan Nox menjadi NO3 karena mendapatkan tambahan energi dari elektron. Kedua senyawa tersebut bereaksi dengan air sehingga dihasilkan produk antara (intermediate product) berupa asam sulfat dan asam nitrat. Setelah 0,1 detik dari proses irradiasi, produk antara (asam sulfat dan asam nitrat) bereaksi dengan ammonia sehingga dihasilkan produk akhir berupa ammonium sulfat dan ammonium nitrat. Kedua senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk sulfat dan pupuk nitrogen.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar