A. LATAR
BELAKANG PERLUNYA AKTUALISASI PANCASILA
Pancasila
sebagai ideologi nasional yang mempunyai posisi sebagai visi kebangsaan
Indonesia, yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik di masa depan dan
yang lahir dari sebuah sejarah. Pancasila perlu diaktualisasikan dalam
kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Visi kebangsaan dan
sumber demokrasi Indonesia ini perlu diterapkan sebagai nilai-nilai,
prinsip-prinsip, dan etika untuk mengawal perubahan politik dan pemerintahan
yang sedang terjadi dari model sentralistik (otoriter yang birokratis dan executive-heavy)
menuju model desentralistik (demokrasi yang multipartai dan legislative-heavy).
Pancasila
selama ini yang dipandang publik sebagai kepentingan (alat) penguasa, yang
ditantang oleh arus globalisasi ideologi asing, terutama Liberalisme, yang
gagal dalam mengatasi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai
akibat adanya salah-urus mengelola negara, serta yang perwujudan praktek
demokrasinya berkonotasi buruk. Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila
yang dijadikan ‘kambinghitam‘-nya. Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila
adalah dasar-negara NKRI yang dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang
kelahirannya berasal dari proses perjuangan kebangsaan Indonesia sehingga perlu
dipertahankan dan diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping
itu, Pancasila dianggap perlu melandasi proses reformasi untuk diarahkan pada ‘reinventing
and rebuilding‘ Indonesia dengan berpegangan pada perundang-undangan yang
juga berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara.
Melalui UUD 1945
sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktek
berdemokrasi memiliki sebuah acuan atau pedoman dan dapat meredam konflik yang
tidak produktif. Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa Pancasila erat
kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga
pelaksanaan Pancasila merupakan landasan idiil dan konstitusional bagi
ketahanan nasional serta merupakan penyaring untuk tantangan
liberalisme-kapitalisme yang tumbuh di Indonesia. Sempitnya pemahaman Pancasila
menyebabkan terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di
masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga
legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks). Dimensi sosial ekonomi
memandang Pancasila sebagai falsafah negara yang dapat mewujudkan sistem
ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan. Pengaruh
globalisasi terhadap penguatan campur tangan asing (badan-badan internasional) terhadap
perekonomian nasional.
Begitu pula dimensi
kesejahteraan rakyat yang memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh
dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan ideologi Pancasila yang bersimetris
dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kedaulatan rakyat serta yang perlu dianalisis
substansi ideologinya pada segi ontologi dan epistemologinya. Dimensi
lingkungan hidup memandang perlunya diaktualisasikan Pancasila sebagai jiwa
rakyat Indonesia. Untuk itu maka diperlukan pedomannya untuk menghayati
sila-sila yang terkandung pada pancasila. Dimensi pendidikan memandang
Pancasila perlu diaktualisasikan dengan alasan bahwa ia perlu difahami dan
dihayati kembali oleh seluruh komponen bangsa. Sehubungan dengan ini, anak
sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah seharusnya menyerap
nilai-nilai Pancasila sejak dini dengan cara diasah, diasih, dan diasuh.
Dimensi budaya
memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan karena perlunya visi NKRI 2020
untuk menjadi negara Industri Maju Baru. Dengan demikian rumusan Pancasila pada
Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan
pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
(kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting
mengingat sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta
kondisi bangsa yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan.
Terakhir,
dimensi keagamaan memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi
bangsa Indonesia mengingat keragaman agama perlu disikapi sebagai permata-indah
untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap hasil penelusuran sejarah
perumusannya.
B. Implementasi Aktualisasi Pancasila
Implementasi
aktualisasi Pancasila merekomendasikan model, pendekatan, metode, teknik,
sasaran (subjek dan objek), dan contoh untuk mengimplementasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirumuskan sebagai
berikut:
1. Pengembangan
model penafsiran yang tidak lagi sentralistik dan formal oleh penguasa/pemerintah
sehingga tidak lagi berkesan sebagai alat pembenaran untuk mempertahankan
kekuasaan. Model penafsiran perlu dirubah menjadi dapat diteliti/dikaji oleh
ragam disiplin ilmu dan ragam komunitas pada tataran nilai-nilai instrumental
dan praksisnya (konsekuensi Pancasila sebagai ideologi-terbuka).
2. Pendekatan
untuk memahami, menghayati (internalisasi), dan menerapkannya yang ditawarkan
oleh forum adalah pendekatan-kemanusiaan melalui budaya dialog, peningkatan
kualitas pengelola negara, transformasi kepemimpinan, dan transformasi
nilai-nilai Pancasila dengan cara/metode yang terbarukan.
3. Metodenya
ditawarkan melalui pendidikan, yaitu dialog budaya (pembudayaan yang
menyatu dengan proses internalisasi), komunikasi, diskusi interaktif,
koordinasi, dan regulasi.
4. Sasaran
untuk berposisi dan berperan baik sebagai subjek maupun objek untuk
implementasi Pancasila adalah individu, keluarga, masyarakat, lingkungan,
bangsa, dan negara dengan prioritas kepada praktisi, ilmuwan/akademisi,
ormas/orpol, pemimpin nasional/daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh
adat.
Pengaktualisasian Pancasila yang terkandung
dalam esensi kelima sila
merupakan suatu kesatuan yang bulat, maka esensi seluruh sila-silanya merupakan
kesatuan. Pancasila adalah kepribadian bangsa indonesia bukan dari luar. Adapun
yang menjadi unsur-unsur pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak
dahulu. Adanya pancasila terdapat di dalam dirinya sendiri, sebab itu pancasila
adalah suatu subtansi yang mengandung esensi.
1. Ketuhanan
Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Dan Sifat-Sifat Tuhan
Hakikat Tuhan itu sendiri sebenarnya
sangat sulit untuk diketahui. Namun sifat-sifat Tuhan dapat lebih mudah kita
pikirkan karena Tuhan mempunyai sifat yang tidak terbatas. Oleh karena itu kita
sebagai manusia ciptaanya dan menjadi masyarakat Indonesia khususnya wajib
bertaqwa kepada Tuhan YME serta menjalankan segala perintahnya,selain itu kita
sebagai makhluk Tuhan harus bisa meniru sifat-sifat yang ada pada diri tuhan
meskipun dengan frekuensi yang jauh lebih rendah dibandingkan tuhan yaitu kita
harus kasih sayang sesama, adil, saling menghormati dan lain sebagainya.
2. Kemanusiaan
Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Manusia
Kita mengetahui bahwa susunan kodrat
manusia itu terdiri dari jiwa dan raga. Menurut sifat kodratnya, manusia merupakan
kesatuan individu dan makhluk sosial atau disebut dengan monodualis sosial,
ekonomi, politik. Menurut kedudukan kodratnya, manusia merupakan kesatuan
individu yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan atau disebut dengan
monodualis religion. Oleh karena iu sebagai manusia yang mempunyai susunan,
sifat, kedudukan kodrat yang sama kita harus dapat mencintai sesama,
mengembangkan sikap tenggang rasa, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
3. Persatuan
Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Satu
Kata satu merupakan sesuatu yang
bulat, tidak dapat dipecah-pecah. persatuan Indonesia pada hakikatnya bahwa
bangsa Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa dan mempunyai adat istiadat, agama,
kepercayaan, kebudayaan yang berbeda-beda itu merupakan satu kesatuan.
4. Kerakyatan
Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Rakyat
Rakyat adalah manusia-manusia yang
bertempat tinggal disuatu Negara. istilah hakikat rakyat menunjukan keseluruhan,
jadi bukan bagian-bagian, meskipun keseluruhan itu terdiri dari bagian-bagian. Maka
antara keseluruhan dan bagian ada hubungan yang erat. Oleh karena itu kita
harus saling bekerja sama, bergotong royong untuk mewujudkan cita-cita kita dan
bangsa.
5. Keadilan
Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Adil
Adil dapat diartikan menempatkan
sesuatu atau hak dan kewajiban pada tempatnya. Berbuat adil kepada diri sendiri
berarti berbuat yang serasi antara hak dan kewajiban, berbuat adil kepada
masyarakat berarti berlaku adil sesama warganya. Berbuat adil kepada Tuhan
berarti melaksanakan kewajiban terhadap Tuhanya. Oleh karena itu kita harus
bersifat adil terhadap diri kita, orang lain, negara dan Tuhan. Jangan sampai melakukan
perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan berusaha mewujudkan kemajuan yang
merata dan berkeadilan sosial.
Menghayati pancasila berarti kita telah memiliki pengetahuan
tentang pancasila dengan sebaik baiknya termasuk pembukaan undang-undang dasar
1945, juga tentang undang-undang dasar 1945. Berdasarkan pengetahuan itu
seharusnya berupa pengertian yang jelas tentang kebenaranya, yang selanjutnya
harus dapat diresapkan dalam pikiran, sehingga tumbuh rasa kesadaran kita untuk
menerimanya. Bilamana penghayatan pancasila ini dapat dikembangkan secara terus
menerus, akan lahirlah mentalitas pancasila, sehingga dapat mewujudkan kesatuan
cipta, rasa, karsa dan karya dalam mengemban hak dan kewajiban atas dasar
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyrakat. Hasilnya akan dapat
mewujudkan manusia pancasila, bangsa pancasila, Negara pancasila, masyarakat
pancasila, sejahtera, bahagia jasmaniah rokhaniah, sesuai dengan kepribadian
manusia dan bangsa Indonesia.
Dengan demikian jelaslah bahwa apa yang menjadi titik tolak
penghayatan pancasila adalah kemauan serta kemampuan manusia Indonesia itu di
dalam mengendalikan dirinya serta kepentinganya agar dapat memenuhi kewajiban
menjadi warga Negara yang baik.
Pancasila tidak berpihak atau pun menyudutkan siapa pun
secara Ras, agama, suku, dan budaya apa pun, maka dari itu pancasila bisa
diterima semua rakyat indonesia sebagai dasar negara.
C. DINAMIKA PELAKSANAAN UUD’45 SEJAK AWAL
KEMERDEKAAN
HINGGA ERA GLOBAL.
Pelaksanaan UUD 1945 terbagi alas dua kurun waktu,
yaitu masa kemerdekaan (tahun 1945 s/d 27 Desember 1949) dan pada tahun 1959
sampai sekarang. Berikut ini perkembangan pelaksanaan UUD 1945.
1. MASA KEMERDEKAAN (1945-1949)
Kurun waktu ini adalah
masa revolusi fisik karena bangsa Indonesia harus berjuang kembali mempertahankan negara dari rongrongan
penjajah yang tidak mau mengakui
kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini juga terjadi penyimpangan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi
parlementer, karena NKRI berubah
menjadi negara RIS sesuai dengan hasil sidang KMB. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, karena pada tanggal 17
Agustus 1950 negara RIS berubah
menjadi NKRI dengan UUDS’50. Tapi ternyata
pelaksanaan UUDS’50 itu tidak memuaskan rakyat dan stabilitas nasional tidak dapat tercapai. Pada masa itu terjadi
pergantian cabinet sebanyak, 7
kali yaitu: Kabinet Natsir
(6-9-1950 s/d 27-4-1951), Kabinet
Sukirman (27-4-1951 s/d 3-4-1952), Kabinet
Wilopo (3-4-1952 s/d 1-8-1953), Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (1-8-1953 s/d 12-8-1955), Kabinet Burhanudin Harahap, (12-8-1955 s/d 24-3-1956), Kabinet Ali Sastroamijoyo II
(24-3-1956 s/d 9-4-1957), Kabinet
Juanda (9-4-1957 s/d 10-7-1959), Karena
seringnya pergantian kabinet, konstituante mengadakan sidang namun selalu gagal, sehingga Presiden
mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal
5 Juli 1959.
2. MASA ORDE LAMA (1959-1966)
Orde lama mulai pada
tanggal 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966 saat diserahkannya Supersemar oleh
Presiden kepada Letjen Soeharto. Di masa ini banyak terjadi penyelewengan
terhadap Pancasila, misalnya Nasakom, pengangkatan Presiden seumur hidup, dan
pembubaran DPR oleh Presiden. Ciri-ciri Orde Lama adalah sebagai berikut: Mempunyai
landasan idil Pancasila dan landasan struktural UUD 1945, Mempunyai tujuan membentuk
NKRI yang berbentuk kesatuan dan kebangsaan yang demokratis, Membentuk suatu
masyarakat yang adil dan makmur baik materil maupun spiritual dalam wadah NKRI
dan Membentuk kerja sama yang baik dengan semua negara di dunia, terutama
dengan negara-negara di kawasan Asia-Afrika, Melaksanakannya dengan meluruskan
segala cara. UUD 1945 pada masa ini tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK belum terbentuk sesuai UUD 1945,
jadi hanya bersifat sementara. Penyimpangan yang terjadi antara lain Presiden
membuat UU tanpa persetujuan DPR dan Presiden membubarkan DPR yang tidak
menyetujui APBN yang diajukannya. Presiden memegang kekuasaan sepenuhnya dan
kemudian MPR mengangkatnya sebagai Presiden seumur hidup. Keadaan tersebut membuat
stabilitas nasional makin memburuk.
3.
MASA ORDE BARU
Orde Baru lahir sejak
diselenggarakannya seminar TNI/AD yang kedua di Seskoad Bandung pada tanggal 25
s/d 31 Agustus 1966. Ciri-ciri Orde Baru hampir sama dengan Orde Lama, kecuali
landasannya yang sedikit mengalami perubahan. Landasan konstitusionalnya tetap
UUD 1945, tetapi landasan strukturalnya adalah kabinet Ampera sedangkan
landasan operasionalnya adalah Tap MPR sejak sidang umum ke IV tahun 1966. Selain
itu, tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan keadilan demi Ampera, Tritura,
dan Hanura secara konstitusional. Adapun pelaksanaan Pancasila dilakukan secara
murni dan konsekuen. Orde Baru menghendaki kepentingan nasional tetapi tidak
meninggalkan komitmen antikolonialisme. Orde Baru menginginkan suatu tatanan
hidup, perekonomian, dan politik yang stabil serta melaksanakan cita-cita
demokrasi politik. Strategi dan taktik Orde Baru ini tercermin dalam program
kabinet Ampera.
4. MASA REFORMASI
Dalam proses reformasi
dewasa ini, terdapat berbagai pendapat dan kajian untuk mengamandemen UUD 1945, karena UUD 1945 harus
bersifat fleksibel, yaitu mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Keinginan untuk mengamandemen itu juga muncul
karena adanya sifat
“muitiinter-pretable” pada pasal-pasal UUD 1945, sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi
kekuasaan terutama Presiden di masa Orde
Lama maupun Orde Baru. Melalui
Sidang Umum MPR tahun 1999, SidangTahunan MPR tahun 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002, UUD
1945 telah mengalami perubahan
(amandemen). Perubahan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan Batang Tubuh UUD 1945 dan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Karena Pembukaan UUD 1945
merupakan ikrar berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan ia memuat Pancasila sebagai Dasar Negara, MPR berketetapan hati untuk tidak
mengubahnya. Pembukaan UUD 1945 serta amandemen
UUD 1945 berdasarkan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002.
D. ANALISIS
SIDANG DPR TENTANG PILKADA LANGSUNG
Sebelum tahun 2005, kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Sejak berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan
Juni 2005.
Pada tahun 2014 ini, DPR RI kembali mengangkat permasalahan mengenai pemilihan
kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24
September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara
tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah
tidak langsung didukung oleh 226 anggota DRP RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar
berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah
55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44
orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Dan hal yang sangat disayangkan adalah selama sidang berlangsung,
situasi sidang ricuh dan sangat tidak kondusif. Keputusan ini telah menyebabkan
beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang
"pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk
menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang
lain, ada anggapan Pilkada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja.
Seharusnya sebagai wakil rakyat, pribadi yang harus ditunjukkan adalah pribadi
yang intelektual dan menjunjung norma yang sudah ada. Sidang seharusnya dapat
berjalan lancar apabila pihak-pihak yang terkait didalamnya bisa bersikap
dewasa, tidak egois, dan menjunjung nilai dan norma yang ada. Pilkada langsung
atau tidak langsung sama-sama mempunyai nilai positif dan negatif.
Hanya saja sekarang bagaimana cara pandang, pola berfikir
wakil rakyat harus lebih luas, tidak mementingkan diri sendiri, mementingkan
kepentingan bersama. Baiknya segala permasalahan ditelaah kembali, dan
permasalahan pilkada langsung maupun tidak langsung dipilih dengan pertimbangan
yang matang untuk tujuan dan kepentingan bersama.
www.research.amikom.ac.id/index.php/DTI/article/viewFile/5286/3306
Kansil, C.S.T., 1990, Hidup Berbangsa dan Bernegara, Erlangga, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar