Selasa, 14 Oktober 2014

Dinamika Aktualisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Aktualisasi UUD 1945



A.        LATAR BELAKANG PERLUNYA AKTUALISASI  PANCASILA
Pancasila sebagai ideologi nasional yang mempunyai posisi sebagai visi kebangsaan Indonesia, yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik di masa depan dan yang lahir dari sebuah sejarah. Pancasila perlu diaktualisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Visi kebangsaan dan sumber demokrasi Indonesia ini perlu diterapkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan etika untuk mengawal perubahan politik dan pemerintahan yang sedang terjadi dari model sentralistik (otoriter yang birokratis dan executive-heavy) menuju model desentralistik (demokrasi yang multipartai dan legislative-heavy).
Pancasila selama ini yang dipandang publik sebagai kepentingan (alat) penguasa, yang ditantang oleh arus globalisasi ideologi asing, terutama Liberalisme, yang gagal dalam mengatasi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai akibat adanya salah-urus mengelola negara, serta yang perwujudan praktek demokrasinya berkonotasi buruk. Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila yang dijadikan ‘kambinghitam‘-nya. Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar-negara NKRI yang dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang kelahirannya berasal dari proses perjuangan kebangsaan Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping itu, Pancasila dianggap perlu melandasi proses reformasi untuk diarahkan pada ‘reinventing and rebuilding‘ Indonesia dengan berpegangan pada perundang-undangan yang juga berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara.
Melalui UUD 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktek berdemokrasi memiliki sebuah acuan atau pedoman dan dapat meredam konflik yang tidak produktif. Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa Pancasila erat kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga pelaksanaan Pancasila merupakan landasan idiil dan konstitusional bagi ketahanan nasional serta merupakan penyaring untuk tantangan liberalisme-kapitalisme yang tumbuh di Indonesia. Sempitnya pemahaman Pancasila menyebabkan terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks). Dimensi sosial ekonomi memandang Pancasila sebagai falsafah negara yang dapat mewujudkan sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan. Pengaruh globalisasi terhadap penguatan campur tangan asing (badan-badan internasional) terhadap perekonomian nasional.
Begitu pula dimensi kesejahteraan rakyat yang memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan ideologi Pancasila yang bersimetris dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kedaulatan rakyat serta yang perlu dianalisis substansi ideologinya pada segi ontologi dan epistemologinya. Dimensi lingkungan hidup memandang perlunya diaktualisasikan Pancasila sebagai jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu maka diperlukan pedomannya untuk menghayati sila-sila yang terkandung pada pancasila. Dimensi pendidikan memandang Pancasila perlu diaktualisasikan dengan alasan bahwa ia perlu difahami dan dihayati kembali oleh seluruh komponen bangsa. Sehubungan dengan ini, anak sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah seharusnya menyerap nilai-nilai Pancasila sejak dini dengan cara diasah, diasih, dan diasuh.
Dimensi budaya memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan karena perlunya visi NKRI 2020 untuk menjadi negara Industri Maju Baru. Dengan demikian rumusan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting mengingat sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta kondisi bangsa yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Terakhir, dimensi keagamaan memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia mengingat keragaman agama perlu disikapi sebagai permata-indah untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap hasil penelusuran sejarah perumusannya.

B.        Implementasi Aktualisasi Pancasila
Implementasi aktualisasi Pancasila merekomendasikan model, pendekatan, metode, teknik, sasaran (subjek dan objek), dan contoh untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirumuskan sebagai berikut:
1.      Pengembangan model penafsiran yang tidak lagi sentralistik dan formal oleh penguasa/pemerintah sehingga tidak lagi berkesan sebagai alat pembenaran untuk mempertahankan kekuasaan. Model penafsiran perlu dirubah menjadi dapat diteliti/dikaji oleh ragam disiplin ilmu dan ragam komunitas pada tataran nilai-nilai instrumental dan praksisnya (konsekuensi Pancasila sebagai ideologi-terbuka).
2.      Pendekatan untuk memahami, menghayati (internalisasi), dan menerapkannya yang ditawarkan oleh forum adalah pendekatan-kemanusiaan melalui budaya dialog, peningkatan kualitas pengelola negara, transformasi kepemimpinan, dan transformasi nilai-nilai Pancasila dengan cara/metode yang terbarukan.
3.      Metodenya ditawarkan melalui pendidikan, yaitu dialog budaya (pembudayaan yang menyatu dengan proses internalisasi), komunikasi, diskusi interaktif, koordinasi, dan regulasi.
4.      Sasaran untuk berposisi dan berperan baik sebagai subjek maupun objek untuk implementasi Pancasila adalah individu, keluarga, masyarakat, lingkungan, bangsa, dan negara dengan prioritas kepada praktisi, ilmuwan/akademisi, ormas/orpol, pemimpin nasional/daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.
Pengaktualisasian Pancasila yang terkandung dalam esensi kelima sila merupakan suatu kesatuan yang bulat, maka esensi seluruh sila-silanya merupakan kesatuan. Pancasila adalah kepribadian bangsa indonesia bukan dari luar. Adapun yang menjadi unsur-unsur pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Adanya pancasila terdapat di dalam dirinya sendiri, sebab itu pancasila adalah suatu subtansi yang mengandung esensi.
1.      Ketuhanan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Dan Sifat-Sifat Tuhan
Hakikat Tuhan itu sendiri sebenarnya sangat sulit untuk diketahui. Namun sifat-sifat Tuhan dapat lebih mudah kita pikirkan karena Tuhan mempunyai sifat yang tidak terbatas. Oleh karena itu kita sebagai manusia ciptaanya dan menjadi masyarakat Indonesia khususnya wajib bertaqwa kepada Tuhan YME serta menjalankan segala perintahnya,selain itu kita sebagai makhluk Tuhan harus bisa meniru sifat-sifat yang ada pada diri tuhan meskipun dengan frekuensi yang jauh lebih rendah dibandingkan tuhan yaitu kita harus kasih sayang sesama, adil, saling menghormati dan lain sebagainya.
2.      Kemanusiaan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Manusia
Kita mengetahui bahwa susunan kodrat manusia itu terdiri dari jiwa dan raga. Menurut sifat kodratnya, manusia merupakan kesatuan individu dan makhluk sosial atau disebut dengan monodualis sosial, ekonomi, politik. Menurut kedudukan kodratnya, manusia merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan atau disebut dengan monodualis religion. Oleh karena iu sebagai manusia yang mempunyai susunan, sifat, kedudukan kodrat yang sama kita harus dapat mencintai sesama, mengembangkan sikap tenggang rasa, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
3.      Persatuan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Satu
Kata satu merupakan sesuatu yang bulat, tidak dapat dipecah-pecah. persatuan Indonesia pada hakikatnya bahwa bangsa Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa dan mempunyai adat istiadat, agama, kepercayaan, kebudayaan yang berbeda-beda itu merupakan satu kesatuan.
4.      Kerakyatan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Rakyat
Rakyat adalah manusia-manusia yang bertempat tinggal disuatu Negara. istilah hakikat rakyat menunjukan keseluruhan, jadi bukan bagian-bagian, meskipun keseluruhan itu terdiri dari bagian-bagian. Maka antara keseluruhan dan bagian ada hubungan yang erat. Oleh karena itu kita harus saling bekerja sama, bergotong royong untuk mewujudkan cita-cita kita dan bangsa.
5.      Keadilan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Adil
Adil dapat diartikan menempatkan sesuatu atau hak dan kewajiban pada tempatnya. Berbuat adil kepada diri sendiri berarti berbuat yang serasi antara hak dan kewajiban, berbuat adil kepada masyarakat berarti berlaku adil sesama warganya. Berbuat adil kepada Tuhan berarti melaksanakan kewajiban terhadap Tuhanya. Oleh karena itu kita harus bersifat adil terhadap diri kita, orang lain, negara dan Tuhan. Jangan sampai melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Menghayati pancasila berarti kita telah memiliki pengetahuan tentang pancasila dengan sebaik baiknya termasuk pembukaan undang-undang dasar 1945, juga tentang undang-undang dasar 1945. Berdasarkan pengetahuan itu seharusnya berupa pengertian yang jelas tentang kebenaranya, yang selanjutnya harus dapat diresapkan dalam pikiran, sehingga tumbuh rasa kesadaran kita untuk menerimanya. Bilamana penghayatan pancasila ini dapat dikembangkan secara terus menerus, akan lahirlah mentalitas pancasila, sehingga dapat mewujudkan kesatuan cipta, rasa, karsa dan karya dalam mengemban hak dan kewajiban atas dasar nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyrakat. Hasilnya akan dapat mewujudkan manusia pancasila, bangsa pancasila, Negara pancasila, masyarakat pancasila, sejahtera, bahagia jasmaniah rokhaniah, sesuai dengan kepribadian manusia dan bangsa Indonesia.
Dengan demikian jelaslah bahwa apa yang menjadi titik tolak penghayatan pancasila adalah kemauan serta kemampuan manusia Indonesia itu di dalam mengendalikan dirinya serta kepentinganya agar dapat memenuhi kewajiban menjadi warga Negara yang baik.
Pancasila tidak berpihak atau pun menyudutkan siapa pun secara Ras, agama, suku, dan budaya apa pun, maka dari itu pancasila bisa diterima semua rakyat indonesia sebagai dasar negara.

C.        DINAMIKA PELAKSANAAN UUD’45 SEJAK AWAL KEMERDEKAAN
HINGGA ERA GLOBAL.
Pelaksanaan UUD 1945 terbagi alas dua kurun waktu, yaitu masa kemerdekaan (tahun 1945 s/d 27 Desember 1949) dan pada tahun 1959 sampai sekarang. Berikut ini perkembangan pelaksanaan UUD 1945.
1.      MASA KEMERDEKAAN (1945-1949)
Kurun waktu ini adalah masa revolusi fisik karena bangsa Indonesia harus berjuang kembali mempertahankan negara dari rongrongan penjajah yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini juga terjadi penyimpangan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer, karena NKRI berubah menjadi negara RIS sesuai dengan hasil sidang KMB. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950 negara RIS berubah menjadi NKRI dengan UUDS’50. Tapi ternyata pelaksanaan UUDS’50 itu tidak memuaskan rakyat dan stabilitas nasional tidak dapat tercapai. Pada masa itu terjadi pergantian cabinet sebanyak, 7 kali yaitu: Kabinet Natsir (6-9-1950 s/d 27-4-1951), Kabinet Sukirman (27-4-1951 s/d 3-4-1952), Kabinet Wilopo (3-4-1952 s/d 1-8-1953), Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1-8-1953 s/d 12-8-1955), Kabinet Burhanudin Harahap, (12-8-1955 s/d 24-3-1956), Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24-3-1956 s/d 9-4-1957), Kabinet Juanda (9-4-1957 s/d 10-7-1959), Karena seringnya pergantian kabinet, konstituante mengadakan sidang namun selalu gagal, sehingga Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
2.      MASA ORDE LAMA (1959-1966)
Orde lama mulai pada tanggal 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966 saat diserahkannya Supersemar oleh Presiden kepada Letjen Soeharto. Di masa ini banyak terjadi penyelewengan terhadap Pancasila, misalnya Nasakom, pengangkatan Presiden seumur hidup, dan pembubaran DPR oleh Presiden. Ciri-ciri Orde Lama adalah sebagai berikut: Mempunyai landasan idil Pancasila dan landasan struktural UUD 1945, Mempunyai tujuan membentuk NKRI yang berbentuk kesatuan dan kebangsaan yang demokratis, Membentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur baik materil maupun spiritual dalam wadah NKRI dan Membentuk kerja sama yang baik dengan semua negara di dunia, terutama dengan negara-negara di kawasan Asia-Afrika, Melaksanakannya dengan meluruskan segala cara. UUD 1945 pada masa ini tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK belum terbentuk sesuai UUD 1945, jadi hanya bersifat sementara. Penyimpangan yang terjadi antara lain Presiden membuat UU tanpa persetujuan DPR dan Presiden membubarkan DPR yang tidak menyetujui APBN yang diajukannya. Presiden memegang kekuasaan sepenuhnya dan kemudian MPR mengangkatnya sebagai Presiden seumur hidup. Keadaan tersebut membuat stabilitas nasional makin memburuk.
3.      MASA ORDE BARU     
Orde Baru lahir sejak diselenggarakannya seminar TNI/AD yang kedua di Seskoad Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966. Ciri-ciri Orde Baru hampir sama dengan Orde Lama, kecuali landasannya yang sedikit mengalami perubahan. Landasan konstitusionalnya tetap UUD 1945, tetapi landasan strukturalnya adalah kabinet Ampera sedangkan landasan operasionalnya adalah Tap MPR sejak sidang umum ke IV tahun 1966. Selain itu, tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan keadilan demi Ampera, Tritura, dan Hanura secara konstitusional. Adapun pelaksanaan Pancasila dilakukan secara murni dan konsekuen. Orde Baru menghendaki kepentingan nasional tetapi tidak meninggalkan komitmen antikolonialisme. Orde Baru menginginkan suatu tatanan hidup, perekonomian, dan politik yang stabil serta melaksanakan cita-cita demokrasi politik. Strategi dan taktik Orde Baru ini tercermin dalam program kabinet Ampera.
4.      MASA REFORMASI
Dalam proses reformasi dewasa ini, terdapat berbagai pendapat dan kajian untuk mengamandemen UUD 1945, karena UUD 1945 harus bersifat fleksibel, yaitu mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Keinginan untuk mengamandemen itu juga muncul karena adanya sifat “muitiinter-pretable” pada pasal-pasal UUD 1945, sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan terutama Presiden di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Melalui Sidang Umum MPR tahun 1999, SidangTahunan MPR tahun 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002, UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen). Perubahan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan Batang Tubuh UUD 1945 dan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Karena Pembukaan UUD 1945 merupakan ikrar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ia memuat Pancasila sebagai Dasar Negara, MPR berketetapan hati untuk tidak mengubahnya. Pembukaan UUD 1945 serta amandemen UUD 1945 berdasarkan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002.

D.        ANALISIS SIDANG DPR TENTANG PILKADA LANGSUNG
            Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Pada tahun 2014 ini, DPR RI kembali mengangkat permasalahan mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DRP RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Dan hal yang sangat disayangkan adalah selama sidang berlangsung, situasi sidang ricuh dan sangat tidak kondusif. Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain, ada anggapan Pilkada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Seharusnya sebagai wakil rakyat, pribadi yang harus ditunjukkan adalah pribadi yang intelektual dan menjunjung norma yang sudah ada. Sidang seharusnya dapat berjalan lancar apabila pihak-pihak yang terkait didalamnya bisa bersikap dewasa, tidak egois, dan menjunjung nilai dan norma yang ada. Pilkada langsung atau tidak langsung sama-sama mempunyai nilai positif dan negatif.
Hanya saja sekarang bagaimana cara pandang, pola berfikir wakil rakyat harus lebih luas, tidak mementingkan diri sendiri, mementingkan kepentingan bersama. Baiknya segala permasalahan ditelaah kembali, dan permasalahan pilkada langsung maupun tidak langsung dipilih dengan pertimbangan yang matang untuk tujuan dan kepentingan bersama.







www.research.amikom.ac.id/index.php/DTI/article/viewFile/5286/3306
Kansil, C.S.T., 1990, Hidup Berbangsa dan Bernegara, Erlangga, Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar